Rabu, 02 Mei 2012

ASAL USUL NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA



“Nenek moyangku seorang pelaut…”

Begitulah bunyi sebuah lirik lagu yang sejak kecil sering kita nyanyikan. Tapi tahukah kalian siapa sebenarnya nenek moyang kita itu? Siapa kira-kira mereka yang ribuan tahun lalu memijakkan kakinya dan memulai kehidupan disini? Menurut salah satu analisa sejarah, nenek moyang bangsa kita berasal dari kawasan Indochina. Namun disamping teori itu, banyak juga teori lain yang hingga kini turut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang awal mula peradaban Nusantara. Teori-teori apa saja yang berkembang? Mari kita ulas satu persatu:

Prof. Dr. H. Kern
Ilmuwan asal Belanda ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Kern berpendapat bahwa bahasa - bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia, Polinesia, Melanesia dan Mikronesia memiliki akar bahasa yang sama, yakni bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia berawal dari satu daerah dan menggunakan bahasa Campa. Menurutnya, nenek-moyang bangsa Indonesia menggunakan perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia. Pendapat Kern ini didukung oleh adanya persamaan nama dan bahasa yang dipergunakan di daerah Campa dengan di Indonesia, misalnya kata “kampong” yang banyak digunakan sebagai kata tempat disana. Selain nama geografis, iIstilah-istilah binatang dan alat perang pun banyak kesamaannya. Tetapi pendapat ini disangkal oleh K. Himly dan P.W. Schmidt berdasarkan perbendaharaan bahasa Campa.

Van Heine Geldern
Pendapatnya tak jauh berbeda dengan Kern bahwa bahasa Indonesia berasal dari Asia Tengah. Teori Geldern ini didukung oleh penemuan-penemuan sejumlah artefak, sebagai perwujudan budaya, yang ditemukan di Indonesia mempunyai banyak kesamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia.

Max Muller
Berpendapat lebih spesifik, yaitu bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Asia Tenggara. Namun, alasan Muller tak didukung oleh alasan yang jelas.

Willem Smith
Melihat asal-usul bangsa Indonesia melalui penggunaan bahasa oleh orang-orang Indonesia. Willem Smith membagi bangsa-bangsa di Asia atas dasar bahasa yang dipakai, yakni bangsa yang berbahasa Togon, bangsa yang berbahasa Jerman dan bangsa yang berbahasa Austria. Lalu bahasa Austria dibagi dua, yaitu bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia. Bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah Indonesia, Melanesia dan Polinesia.

Hogen
Menyatakan bahwa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal dari Sumatera. Bangsa Melayu ini kemudian bercampur dengan bangsa Mongol yang disebut bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Bangsa Proto Melayu kemudian menyebar di sekitar wilayah Indonesia pada tahun 3.000 hingga 1.500 SM, sedangkan bangsa Deutro Melayu datang ke Indonesia sekitar tahun 1.500 hingga 500 SM.

Drs. Moh. Ali
Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan, Cina. Pendapat ini dipengaruhi oleh pendapat Mens yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol yang terdesak oleh bangsa-bangsa lebih kuat sehingga mereka pindah ke selatan, termasuk ke Indonesia. Ali mengemukakan bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar yang terletak di daratan Asia dan mereka berdatangan secara bergelombang. Gelombang pertama berlangsung dari 3.000 hingga 1.500 SM (Proto Melayu) dan gelombang kedua terjadi pada 1.500 hingga 500 SM (Deutro Melayu). Ciri-ciri gelombang pertama adalah kebudayaan Neolitikum dengan jenis perahu bercadik-satu, sedangkan gelombang kedua menggunakan perahu bercadik-dua.

Prof. Dr. Krom
Menguraikan bahwa masyarakat awal Indonesia berasal dari Cina Tengah karena di daerah Cina Tengah banyak terdapat sumber sungai besar. Mereka menyebar ke kawasan Indonesia sekitar 2.000 SM sampai 1.500 SM.

Mayundar
Berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, lalu menyebar ke wilayah Indochina terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Teori Mayundar ini didukung oleh penelitiannya bahwa bahasa Austronesia merupakan bahasa Muda di India bagian timur.

Dr. Brandes
Berpendapat bahwa suku-suku yang bermukim di kepulauan Indonesia memiliki persamaan dengan bangsa-bangsa yang bermukim di daerah-daerah yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa di Taiwan, sebelah barat Pulau Madagaskar dansebelah timur hingga ke tepi pantai bata Amerika. Brandes melakukan penelitian ini berdasarkan perbandingan bahasa.

Prof. Mohammad Yamin
Yamin menentang teori-teori di atas. Ia menyangkal bahwa orang Indonesia berasal dari luar kepulauan Indonesia. Menurut pandangannya, orang Indonesia adalah asli berasal dari wilayah Indonesia sendiri. Ia bahkan meyakini bahwa ada sebagian bangsa atau suku di luar negeri yang berasal dari Indonesia. Yamin menyatakan bahwa temuan fosil dan artefak lebih banyak dan lengkap di Indonesia daripada daerah lain di Asia, misalnya temuan fosil Homo atau Pithecanthropus Soloensis dan Wajakensis yang tak ditemukan di daerah Asia lain termasuk Indochina (Asia Tenggara).

Lalu bagaimana pendapat kalian?
Yang harus kita sadari adalah teori-teori di atas merupakan produksi masa lalu dimana ilmu arkeologi belum dilengkapi pengetahuan genetik dan linguistik yang tajam. Teori saat itu hanya dibangun dengan melihat dari segi fisik saja. 

Sebenarnya jawaban atas pertanyaan “Siapakah nenek moyang bangsa Indonesia?” dapat dikaji dari ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu antropologi budaya, ilmu paleoantropologi dan ilmu genetika. Para ahli purbakala masa kini telah menelusurinya dan meneliti endapan tanah purba 1,5 juta tahun yang lalu. Endapan purba tersebut dikenal dengan nama Plestosen Bawah dan ditemukan di kawasan Jawa Tengah serta Jawa Timur. Dari fosil-fosil yang terdapat di endapan purba tersebut para ahli dapat meneliti perikehidupan manusia purba.

Dari peta distribusi geografis, ada jenis makhluk yang bernama Homo Erectus. Makhluk ini menunjukkan bahwa Nusantara kita adalah daerah migrasi makhluk ini. Mereka tersebar dari Afrika sampai ke tenpat kita berada saat ini. Homo erectus diperkirakan lahir di Afrika, 1,7 juta tahun yang lalu. Wujud makhluk ini seperti monyet besar.

Apakah nenek moyang manusia Indonesia adalah makhluk Homo Erectus ini? Bukan! Makhluk yang berwujud mendekati kera tersebut sudah punah. Tidak punya keturunan lagi. Dan itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu.

Nenek moyang manusia konon, dari makhluk yang bernama Homo Sapiens, yang lahir ratusan ribu tahun silam. Fosil-fosil Homo Sapiens ditemukan di gua-gua purba zaman pra sejarah. Mereka hidup di gua-gua pada era Helosen. Jadi makhluk Homo Erectus dan Homo Sapiens tidak punya “hubungan darah”. Homo Sapiens bukan keturunan Homo Erectus. Lebih tegas lagi, dari kajian ilmu kepurbakalaan dapat diketahui bahwa manusia bukan keturunan kera! Tentunya termasuk manusia yang berdiam di Nusantara ini. 

Dari Ilmu Linguistik
Dari kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia adalah penutur bahasa Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah digunakan oleh manusia di Nusantara. Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu. Bahasa Austronesia memiliki penyebaran paling luas di dunia, khususnya sebelum zaman penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-Afrika.

Bahasa Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal dari Madagaskar di barat sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di selatan. Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas dibanding penyebaran bahasa Indo Eropa, Aria Barat dan Aria Timur atau Semit.

Keturunan Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun dan digunakan oleh 300 juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para penutur bahasa Austronesia beragam, mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang, bangsawan, pengeliling dunia, sampai kaum petani di pedalaman. Sekitar 80 juta manusia penutur bahasa Austronesia hidup di kepulauan Nusantara dan kepulauan Pasifik.

Jadi siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan bahasa Austronesia dan tinggal di Nusantara itu? Hal tersebut masih menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Pendapat mereka bermacam ragam, ada yang mengatakan dari Formosa (Taiwan),  Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina atau Jepang.

Dari Bahasa Austrik
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak pernah berpendapat, rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua, yaitu Austro Asiatik dan Austronesia.

Austro Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China, Thailand dan Munda di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan di tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.

Menurut teori “Model Out of Taiwan”, bahasa Austronesia mulai mengkristal di Formosa atau Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan China Selatan 6.000 tahun yang lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Fujian atau Guangdong, dua daerah di China Selatan.

Proses kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian melahirkan budaya “Da-pen-keng”. Budaya tersebut berkembang dan bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek lokal. Itu terjadi sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut manusia sudah mengerti memelihara babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi meski masih sederhana, menanam ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu dan membuat gerabah.

Ratusan tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya mulai menggunakan peralatan dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu kecil dan sempit.

Sejumlah kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai berkelana ke selatan lewat lautan dengan menggunakan perahu yang sederhana, yang lebih banyak digerakkan oleh arus ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah selatan. Di antara mereka ada yang bergerak ke arah Asia Tenggara, sampai ke Filipina dan Kalimantan Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.

Kelompok pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini akhirnya menciptakan bahasa “Proto Malayo Polynesia” (PMP) yang merupakan cabang dari induknya, Proto Austronesia.

Di kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah. Budidaya tanaman yang berasal dari biji-bijian mulai bertambah, misalnya mulai menanam kelapa, sagu, sukun dan pisang. Pada saat itu perhubungan laut juga mulai meningkat. Teknologi pelayaran mereka mulai canggih. Maka diantara mereka mulai ada yang bermigrasi ke pulau-pulau di Nusantara, misalnya ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan ada yang sampai ke pulau Mikronesia, Lautan Pasifik.

Dalam tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian mereka ada yang bermigrasi ke Jawa, Sumatra dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka menuju ke Nusa Tenggara, Maluku, Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di kawasan timur ini, budaya tanaman biji-bijian mereka tinggalkan dan beralih ke budidaya berbagai tanaman umbi-umbian. Bumi dan alam di Nusantara bagian timur ternyata tidak cocok untuk tanaman biji-bijian.

Menurut pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo, persebaran para penutur Proto Malayo Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun yang lalu. Hal itu ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah.

Kemampuan mereka mengarungi lautan jarak jauh, mendorongnya untuk terus mencari daerah baru yang kemungkinan lebih baik atau lebih nyaman untuk hidup. Mereka telah mengenal strategi lompat katak. Dari pulau yang satu melompat ke pulau yang lain yang lebih dekat. Demikian seterusnya sampai mereka tiba di pulau yang paling jauh.

Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut berkembang di kawasan barat Nusantara sedangkan di kawasan Halmahera, Maluku berkembang bahasa-bahasa “Proto Central Malayo Polynesia”. Bahasa-bahasa “Proto Eastern Malayo Polynesia” berkembang di daerah Kepala Burung, Papua Barat dan bahasa-bahasa “Proto Oceanic” berkembang di Kepulauan Bismarck, Pasifik Barat dan sekitarnya.

Semua proto-bahasa dalam bentuk ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga ke Proto Oceania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yakni lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Demikian menurut pakar arkeologi Daud Aris Tanudirjo.

Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck boleh dikatakan satu bahasa namun dengan sedikit perbedaan variasi dialek.

Austromelanesoid – Mongoloid
Dari hasil penemuan dan penelitian di Pegunungan Sewu (bagian tengah Jawa Tengah-Jawa Timur), para ahli menemukan kohabitasi (bercampurnya dua suku bangsa di suatu wilayah) yaitu ras Australomelanesoid dengan ras Mongoloid dalam waktu yang hampir bersamaan. Kohabitasi dua ras tersebut jauh sebelum datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid.

Dalam situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan kerangka Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang sama juga ditemukan kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.


Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak (dekat Tulungagung, Jawa Timur) menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian wajahnya, sekaligus menunjukkan ciri-ciri ras Austromelanesid pada bentuk umum tengkoraknya. Dari bukti-bukti yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah:
  1. Percampuran antara dua ras Austromelanesoid dan Mongoloid yang mendiami bumi Nusantara ini, datang gelombang demi gelombang, dalam waktu berabad-abad, kemudian bercampur dengan
  2. Rumpun Asia, bercampur lagi dengan
  3. Rumpun Aria dari India, dan bercampur lagi dengan
  4. Bangsa Semit di masa-masa modern sesudahnya.
Dari analisis tersebut maka akan sulit untuk menentukan siapa sebenarnya diantara kita yang pantas disebut bangsa Indonesia ASLI. Apalagi di zaman sekarang, ketika perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri lain bisa dilakukan dengan mudahnya.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, karena bangsa kita bersumber dari nenek moyang yang sama (Nabi Adam AS), maka tidaklah pantas membedakan orang Jawa, orang Batak, orang Cina, orang Bugis dan suku-suku lainnya dengan kata pribumi atau non-pribumi. Masing-masing kita memiliki perawakan, tradisi, bahasa, ataupun kebiasaan dan keberhasilan dalam hidup yang berbeda, tapi kita semua adalah manusia Indonesia, yang bisa saling menguatkan dan mengisi kekurangan satu sama lain untuk membangun tanah air tercinta.
BHINEKA TUNGGAL IKA !!!